
Pergeseran Orientasi Belajar Santri di Pondok Pesantren
Oleh Mustakim
Pergeseran orientasi belajar santri di Pondok Pesantren Al- Islahiyyah tentu tidak terjadi begitu saja tanpa adanya sebab yang jelas. Penulis telah melakukan riset lapangan dan menemukan sekaligus memetakan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pergeseran orientasi tersebut. Faktor internal yang muncul ke permukaan adalah tujuan dasar dari masing-masing santri dan keinginan mereka untuk melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi maupun untuk mendapatkan pekerjaan.
Tujuan santri mondok di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah tidak hanya untuk tafaquh fi al-di>n di Pondok Pesantren Al- Ishlahiyyah akan tetapi juga untuk belajar sekolah formal di yayasan Al-Hisyamy Kediri yang menaungi MI Raudlotut Tholabah, Mts Sunan Kalijogo dan MA Sunan Kalijogo
Tujuan santri belajar di pesantren dan juga untuk sekolah formal hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan Ali Anwar bahwa orientasi santri sekarang ini bersifat pragmatis, mereka belajar atau yantri dengan target-target praktis tertentu, seperti orientasi ekonomi, kedudukan sosial, dan lain-lain. Akibat dari orientasi tersebut, prinsip keikhlasan dan pengabdian dalam sistem pendidikan pesantren mulai bergeser dari posisinya yang semula kukuh [11, p. 161].
Berdasarkan temuan di lapangan, Sekarang santri Al- Ishlahiyyah berpendapat bahwa sekolah formal penting karena
kalau tidak sekolah formal maka tidak akan mendapatkan ijazah, kalau tidak punya ijazah maka keinginan untuk bisa sekolah yang lebih tinggi tidak akan tercapai dan keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik juga sulit didapatkan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Naquib Al-Attas yang di kutip oleh Badrut Tamam yang menyatakan, bahwa pergeseran orientasai belajar santri saat ini merupakan pergeseran kesadaran indifidual menjadi bergeser kearah yang lebih mengutamakan pada diploma/ijasah dan pemenuhan kebutuhan serta minat masyarakat (sistem pasar) [13, p. 5]. Lebih lanjut Asrori, mengatakan bahwa dulu, banyak orang belajar belasan tahun di pondok pesantren tanpa memikirkan ijazah. Niatnya tulus mencari ilmu, agar manfaat dunia-akhirat. Kini banyak urusan bakal susah bila tanpa ijazah. Bukan asal ijazah, tetapi harus ijazah yang diakui pemerintah, termasuk untuk melanjutkan sekolah dan magang kerja [10, p. 188].
Sementara itu, beberapa faktor eksternal yang melatarbelakangi pergeseran orientasi santri belajar di Pondok Pesantren Al-Islahiyah adalah tujuan orang tua, kebijakan Kiai, tuntutan zaman dan dunia kerja, serta perkembangan yayasan Al- Hisyamy Kediri.
Orang tua adalah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap tujuan belajar santri belajar di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah karena orang tua adalah orang yang mengarahkan dan menentukan sekolah anaknya. Sedangkan menurut Mohammad Thoha pergeseran orientasi belajar disebabkan karena tujuan santri sendiri di dalam belajar di pondok pesantren [12]. Akan tetapi sebenarnya pergeseran tujuan belajar santri tidak hanya berangkat dari pribadi santri sendiri. Melainkan juga tujuan wali santri memondokkan anaknya untuk belajar di pondok pesantren dan juga untuk sekolah formal.
Lebih lanjut Ali Anwar, menyatakan bahwa, sekarang ini orang tua memondokkan putra putrinya karena berorientasi kepada pasar, cara pandang kepada pesantren mengalami pergeseran. Mereka memilih pesantren bukan hanya di tentukan
kemampuan pesantren tersebut dalam mengantarkan putra- putrinya untuk menjadi manusia yang memahami dan mengamalkan agama semata, tetapi juga ditentukan oleh strata pesantren dalam rangka identifikasi diri orang tua tersebut [11, p. 158].
Kiai adalah termasuk orang yang mempengaruhi terhadap pergeseran orientasi belajar santri di Pondok Pesantren Al- Ishlahiyyah dalam bentuk memberi respon positif terhadap tujuan santri dan wali santri yang memondokkan putra-putrinya di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah dengan tujuan untuk belajar agama dan sekolah formal di Yayasan Al-Hisyami Kediri. Hal senada juga di smpaiakan oleh Zamakhsari Dofier yang mengatakan para kiai mengambil langkah-langkah yang lapang dalam meyelenggarakan modernisasi pesantren di tengah-tengah perubahan masyarakat saat ini, tanpa meninggalkan aspek-aspek positif dari sistem pendidikan Islam tradisional. Para kiai tidak mau membuang kerangka besar dari tradisi keilmuwan; walaupun telah melakukan perubahan-perubahan yang sangat fundamental dalam bidang-bidang aktifitas sosial dan intelektual, cara hidup, kebiasaan-kebiasaan sosial dan dalam aspirasi profesional. Hal ini dapat dibuktikan dari kenyataan kenyataan bahwa putra-putri kiai disekolahkan di universitas-universitas umum [6, p. 175].
Di zaman yang serba maju ini segala sesuatu di tuntut kelegalitasannya baik itu pendidikan, berokrasi atau pemerintahan. Maka kalau tidak punya ijazah bisa ketinggalan zaman karena tidak bisa melanjutkan sekolah dan tidak bisa magang kerja tanpa mengkesampingkan moral dan Akhlak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ali Anwar yang menyatakan; bahwa setelah kemerdekaan, pemerintah mempunyai kebijakan untuk mengembangkan sekolah umum seluas-luasnya dan memberikan fasilitas bagi anak bangsa yang terdidik pada sekolah umum untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan [11, p. 154].
Kebijakan pemerintah tentang pencari kerja dalam sektor formal yang harus memiliki ijazah ini sangat mempengaruhi terhadap santri lulusan pesantren yang belum mu`adalah. Seperti yang di contohkan oleh Asrori S. karni, dia mengatakan ada alumni pondok sidogiri yang bernama M. Muhlis di tolak menjdadi guru
agama di MI tempat tinggalnya yaitu sidorajo. Alasannya sepele karena tidak punya ijazah formal. Padahal, Muhlis sudah dipercaya mengisi pengajian di pelbagai tempat. Pengetahuan agamanya tidak diragukan. Sebelum lulus, Muhlis sudah mendapat tugas sebagai dai di situbondo dan kini Muhlis bekerja serabutan [10, p. 198].
Keberadaan dan perkembangan Yayasan Al-Hisyamy Kediri memepengaruhi terhadap tujuan belajar santri di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah dimana tujuan mereka selain belajar di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah juga ingin sekolah di Yayasan Al-hisyamy Kediri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Steenbrink yang mengatakan “ketika diperkenalkan lembaga pendidikan yang lebih teratur dan modern, lembaga pendidikan salaf, ternyata tidak begitu laku dan banyak ditingalkan siswanya/santri [7, p. 63].”
Penulis menggaris bawahi peryataan Steenbrink, bahwa bukan berarti pendidikan salaf yang di tinggalkan dan tidak diminati tersebut mati dan tidak ada peminatnya. Buktinya Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah tetap eksis dan diminati oleh masyarakat hingga saat ini. karena masyarakat menganggap pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang bisa menjadi bengkel moral bagi degradasi moral saat ini.
Beberapa faktor internal dan eksternal inilah yang menyebabkan muncunya pergeseran orientasi belajar para santri di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah Kranding Mojo Kediri. Seiring berjalannya waktu, pergeseran orientasi ini bukanlah sesuatu yang haram untuk dipikirkan atau dilakukan. Namun demikian, pengurus Pondok Pesantren perlu memahami bahwa kebutuhan santri saat ini harus tetap diutamakan agar eksistensi Pondok Pesantren tetap terjaga dan mampu bersaing di tengah derasnya era industri 4.0.
Implikasi Pergeseran Orientasi Belajar Santri di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah
Dinamika yang terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia menuntut adanya perubahan secara terus menerus.
Tuntutan kontinuitas perubahan itu terjadi dalam semua aspek, seperti politik, ekonomi, budaya, dan sosial yang di dalamnya termasuk aspek pendidikan Islam. khususnya dalam konteks pendidikan pesantren, menurut Syed Naquib Al-Attas yang di kutip oleh Badruttamam menyatakan bahwa tujuan pendidikan untuk mendidik dan meyadarkan kepada manusia supaya beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan ketidak tahuan akan hakikat dirinya akan tetapi prinsip tersebut telah bergeser pada pemenuhan kebutuhan serta minat masyarakat (sistem pasar) dan kebutuhan ragawi.
Sedangkan menurut Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa akibat modernisme muncul gejala baru di dunia pesantren yang bersikap terbuka kepada keilmuwan modern. Indikatornya adalah masuknya pelajaran bahasa Inggris kepesantren-pesantren tertentu. Penekanan bahasa Arab tidak lagi pada penelahaan gramatikanya (nahwu-sharf), tetapi bagaimana menguasai bahasa Arab itu sendiri, baik secara lisan maupun teks. Dan lebih lanjut Ali anwar mengatakan akibat modernisme di dunia pesantren mempengaruhi bergesernya tradisi dan melunturnya beberapa prinsip yang dipegangi dalam sistem pendidikan pesantren. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian penulis sebagai berikut:
- Dulu mayoritas santri salaf sekarang kebalikannya (mayoritas santri formal).
Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah Mayan Kranding Mojo Kediri, didirikan oleh KH Abdullah Mun`im Ismail pada tahun 1934 semenjak berdiri pesantren merupakan pesantren salaf, dengan tetap mengajarkan kitab-kitab kuning sebagai pembelajaran tanpa memasukkan mata pelajaran umum. Dan saat ini Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah diasuh oleh KH Najib Zamzami (Putra dari KH Abdullah Mun`im Ismail). Sesuai temuan peneliti, Santri yang belajar di pondok ini semenjak berdiri hingga tahun 1990 merupakan santri yang fokus untuk tafaqquh fi al-di>n. dan mulai tahun 1990-2000 mulai ada perubahan, dimana di pondok ini mulai ada santri yang tidak hanya tafaqquh fi al-di>n tetapi juga untuk belajar di yayasan Al-Hisyamy Kediri. mulai
- Dulu, mayoritas santri boyong setelah meyelesaikan pendidikanya di pondok pesantren akan tetapi sekarang, mayoritas santri boyong setelah meyelesaikan sekolah formalnya.
Berdasarkan temuan penulis bahwa dulu mayoritas santri Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah boyong (pulang) setelah meyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren, jadi mereka mondok bisa sampai sembilan tahun bahkan lebih, bagi santri yang di minta kiainya untuk mengabdi dulu di pondok pesantren. Hal ini senada dengan ungkapan Ali anwar yang mencotohkan mondoknya KH Abdul Karim Liroboyo, KH Abdul Karim mondok kepada KH kholil Bangkalan sampai 23 tahun setelah itu Beliau masih mondok lagi di tebu ireng selama 3 tahun.
Berbeda dengan sekarang, karena mereka merasa sudah meyelesaikan pendidikannya di sekolah formal, akhirnya mereka boyong walaupun belum selesai pendidikannya di pesantren.
- Dulu santri tidak memikirkan ijazah, sekarang kebalikannya (membutuhkan) pada ijazah
Dulu orientasi belajar santri Pondok Pesantren Al- Ishlahiyyah adalah untuk mendapat ridlo Allah dan Kiainya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Ziemek bahwa dulu orientasi belajar santri tidak berkiblat pada sekolah-sekolah lanjutan dengan ujian akhir dan ijazah sebagai tanda bukti kelayakan meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan diharapkan setelah kembali kekampung halamannya masing-masing menjadi muslim teladan, yang mensosialisasikan serta mempromosikan nilai-nilai keIslaman kepada masyarakat [14, p. 187]. Lebih lanjut menurut Asrori S. Karni orientasi belajar santri adalah untuk berburu ilmu, agar bermanfaat dunia akhirot tanpa memikirkan ijazah.
Dan hal tersebut berbeda dengan sekarang, dimana sekarang ini orientasi santri yang belajar di Pondok Pesantren Al- Ishlahiyyah tidak hanya untuk belajar agama Islam tetapi juga berorientasi pada ijazah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ali anwar, bahwa orientasi santri sekarang bersifat pragmatis, mereka belajar dengan target-target pragtis tertentu, seperti orientasi ekonomi, kedudukan sosial, dan lain-lain [3].
Dari peryataan di atas dapat difahami telah terjadi pergeseran orientasi belajar santri, dimana santri sekarang ini tidak hanya berorientasi untuk belajar agama Islam, akan tetapi juga berorientasi ijazah, pekerjaan dan lain-lain.
- Dulu santri tekun memaknai kitabnya, sekarang berkurang ketekunannya
Berdasarkan temuan penelitian penulis, dulu santri Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah begitu tekun untuk mema`nai kitabnya. Sekarang, ketekunan tersebut berkurang dikarenaka kegiatan yang padat dan kondisi tubuh yang sudah kecapekan, padahal penuhnya ma`na pada kitab sangat membantu kepada santri untuk memahami isi atau kandungan kitab yang di pelajarinya. Dalam
istilah pesantren di sebutkan;” padange kitab dadi petenge ati lan petenge kitab dadi padange ati.” Maksudnya kitab yang ma`nanya penuh akan memudahkan bagi santri untuk memahami isi kitab
sedangkan kitab yang ma`nanya tidak penuh akan meyulitkan santri untuk memahami isi kitabnya.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Martin Van Bruinessen, tentang pelaksanaan pembacaan kitab kuning, yaitu kitab dibaca oleh kiai dengan nada tinggi di depan kelompok santri, sedangkan para santri yang memegang kitabnya memberikan harokat sebagaimana bacaan sang kiai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) naupun ma`nawi (ma`na). dan santri boleh mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya terbatas pada konteks sempit kitab itu. Jarang sekali ada usaha menghubungkan uraian-uraian kitab dengan hal-hal yang konkret, atau situasi kotemporer. Kiai jarang menanyakan apakah santri benar-benar memahami kitab yang di bacakan kepadanya [15, p. 18]. Lebih lanjut menurut Ali Anwar bahwa sistem pendidikan dengan sistem bandongan membutuhkan ketrampilan dasar santri yaitu menulis dan gramatika arab.
Dari pernyataan diatas bisa di fahami bahwa penting sekali bagi santri mema`nai kitabnya apalagi dia belum menguasai menulis dan gramatika arab. Karena hal itu sangat menunjang pemahaman santri untuk memahami kitab yang dipelajarinya. Kalau ma`nanya kitab tidak penuh maka akan sulit bagi santri memahami isi kitab yang di pelajarinya.
- Berkurangnya kemandirian dan kesederhanaan santri di Pondok Pesantren
Dalam tradisi pesantren, selain diajarkan mengaji dan mengkaji ilmu agama, pesantren juga mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian solidaritas dan keikhlasan [16]. Bila diamati secara lahiriyah sederhana memang mirip dengan miskin. Padahal yang dimaksud sederhana di pondok pesantren salaf adalah sikap hidup, yaitu sikap memandang sesuatu, terutama materi, secara wajar, proposional dan fungsional. Sebenarnya banyak santri yang berlatar belakang orang kaya, tetapi mereka dilatih hidup sederhana. Teryata orang kaya tidak sulit menjalani kehidupan sederhana bila dilatih seperti cara di pondok pesantren.
Dari temuan penelitian penulis, dulu santri memakai pena
tutul karena pena tersebut tidak mahal dan kalau mangsinya habis
cukup dengan mengisi dengan air, jadi murah meriah. Selain itu mereka memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari agar lebih hemat tidak boros. Untuk kebutuhan bahan makanan seperti beras, bumbu dapur bahkan kayu bakar pun dikirimi oleh wali santri. Hal itu membuat mereka menjadi orang yang mandiri, sederhana dan juga ada rasa kebersamaan yang terjalin diantara mereka, karena saling bekerja sama di dalam kegiatan memasak dan ngeduk (makan bersama).
Berbeda dengan sekarang, karena kesibukan sekolah dari pagi sampai siang dan belum lagi kegiatan di Pondok akhirnya mereka membeli kitab foto copy dan memaknai kitabnya menggunkan bolfoin hitec tidak menggunakan pen tutul. Dan untuk makan sehari-hari mereka memilih untuk majek. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ali Anwar yang Mengatakan, dengan banyaknya aktivitas yang harus di ikuti baik di pondok ataupun di sekolah, santri kehabisan waktu untuk dapat melakukan pekerjaa- pekerjaan yang dapat melatih hidup sederhana dan mandiri, seperti memasak makanan, mencuci pakaian dan meyetrikanya.
Dari paparan diatas bisa di fahami bahwa telah terjadi berkurangnya kemandirian santri yang belajar di pondok pesantren. Dan hal itu memang karena tuntutan keadaan yang membuat mereka tidak bisa melakukan kegiatan seperti memasak, mencuci dan lain-lain.
Kesimpulan
Telah terjadi pergeseran orientasi belajar antara santri dulu dan sekarang di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah. Awalnya tujuan santri adalah fokus untuk mondok karena belajar ilmu agama Islam dengan mengharap ridlo kiainya. Namun sekarang selain tafaquh fi al-di>n, mereka juga bertujuan untuk sekolah formal di yayasan Al-Hisyamy Kediri yang menaungi MI Raudlotut Tholabah, MTs Sunan Kalijogo dan MA Sunan Kalijogo juga untuk sekolah formal. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran orientasi belajar santri di Pondok Pesantren Al- Islahiyyah baik dari internal santri maupun dari eksternal santri di dalam belajar di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah.
Akibat dari pergeseran orientasi belajar santri di Pondok Pesantren Al-Ishahiyyah tersebut, menimbulkan implikasi yang berupa adaptasi para santri terhadap tuntutan kemajuan zaman seperti ijazah, boyong dari pondok sebelum menyelesaikan pendidikannya dipondok, ke inginan untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi dan berkurangnya kemandirian dan ketekunan santri. Yang pasti, pengurus Pondok Pesantren harus senantiasa istiqamah dalam menjaga kualitas pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan agar kebutuhan para santri tetap terpenuhi sehingga Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah tetap eksis dan mampu berkompetisi di tengah tantangan era industri 4.0.
http://prosiding.iainkediri.ac.id/index.php/pascasarjana