
Guruku Adalah Tuanku
(Telaah Kitab Washoya al-Aba’ lil-Abna’)
Oleh Moh Abu Yasit Ansori
“It’s time to begin the third lesson.” Bel pergantian jam berbunyi menunjukkan bahwa saatnya jam ketiga. Saya pun memasuki kelas disambut aneka ekspresi siswa yang menggemaskan, meski kadang menguji nyali. Ada di antara mereka yang tidur di bangku, ada yang bercanda, dan ada pula yang membuka buku, bukan untuk dibaca namun untuk mengelabui guru seakan-akan mereka membaca, nyatanya mereka tidur di balik buku yang diposisikan berdiri.
Begitulah kondisi siswa kami. Masa depan mereka tergambar melalui kreatifitas mereka. Mereka berkembang sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. Ada di antara mereka yang ahli dalam menulis kaligrafi, seni grafiti, seni mural, ceramah, dan masih banyak keahlian lain yang belum bisa kami fasilitasi dengan maksimal. Hal tersebut nampak jelas dalam kehidupan sehari-hari mereka yang tertuang dalam coretan buku tulis mereka. Dan saya sebagian mengetahui kretifitas mereka.
Pada hari itu, saya sengaja memang tidak mengisi pelajaran dengan materi, melainkan motivasi. Saya mengawali dengan sebuah pertanyaan, “Pelajaran apa tadi?” Dan mereka menjawab serempak, “Pelajarannya Pak Arif, Bahasa Indonesia.” Lalu saya lanjutkan pertanyaan saya, “Paham dengan pelajarannya?” Sebagian dari mereka memilih diam karena takut salah menjawab. Dan sebagian yang lain menjawab bahwa mereka belum mampu memahami pelajaran secara maksimal. Tidak hanya pelajaran Bahasa Indonesia yang sulit dipahami, melainkan juga dengan pelajaran lain, lebih-lebih pelajaran saya sendiri, Bahasa Jawa (sambil tersenyum cengengesan).
Dalam suatu pembelajaran harus ada timbal balik antara guru dan murid. Sehebat apapun seorang guru tidak akan berhasil dalam mengajar apabila tidak ada keaktifan dari murid. Begitu juga sebaliknya, seaktif apapun murid tidak akan berhasil dalam proses pembelajaran apabila tidak didukung oleh guru yang mumpuni. Keduanya harus aktif dalam proses pembelajaran. Seorang guru harus mampu memberi stimulan (dorongan) untuk meningkatkan niat belajar siswa.
Kondisi guru di MTs Sunan Kalijogo sudah cukup mumpuni. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan para guru yang rata-rata sudah menyelesaikan strata satu (S-1). Dan mayoritas para guru merupakan alumni sarjana pendidikan. Bahkan beberapa sudah menyelesaikan pendidikan Master (S-2) sebagai salah satu wujud dedikasi dalam turut serta mencerdaskan bangsa, MTs Sunan Kalijogo khususnya. Diantara para guru yang sudah mengenyam pendidikan Master di antaranya adalah Bapak Mustaqim, M.Pd., Bapak Thoifan Lutfi, M. Pd., Bapak Fauzan, M.Ag., dan beberapa guru lainnya (semoga penulis juga segera menyusul. aamiin).
Maka selanjutnya, saya sampaikan pada saat itu, para murid harus menyadari eksistensi (keberadaan) mereka. Banyak dari mereka belum terlalu paham mengenai eksistensi mereka sebagai murid. Mereka belajar di MTs Sunan Kalijogo hanya sekedar menurut perintah orangtua yang dipasrahkan kepada pengurus pondok pesantren. Sehingga, hal tersebut mengurangi minat dalam belajar para murid. Mereka tidak mampu memilih karena belum terlatih memilih, namun terbiasa dipilihkan.
Saya jabarkan hal tersebut untuk membuka pikiran mereka sebagai murid. Kewajiban seorang murid tidak cukup hanya sekedar taat pada orang tuanya, sungguh tidak cukup. Seorang murid ketika sudah berada dalam suatu tempat menuntut belajar, sepenuh jiwa raga harus dipasrahkan kepada guru. Ada banyak riwayat yang menjelaskan bagaimana sikap seharusnya seorang murid kepada gurunya. Dasar seorang murid apabila memiliki kemanfaatan dalam menuntut ilmu adalah sebuah keyakinan bahwa انا عبد من علّمني ولو حرفا menukil dari perkataan Sayyidina Ali ra. yang artinya saya adalah hamba (dari) orang yang telah mengajari saya, meskipun satu huruf.
Mengapa seorang murid diibaratkan seorang hamba dari seorang guru? Karena gurulah yang memberi pengetahuan kepada murid. Dalam kitab Washoya al-Aba’ lil-Abna’ disebutkan bahwa
انا أستاذك ومعلّمك ومربّ روحك. لا تجد احداً احرص على منفعتك وصلاحك منّي
“Saya adalah gurumu, pengajarmu, yang membimbing ruh (jiwa)mu. Kamu tak akan menemukan orang lebih bangga daripada aku atas kemanfaatan dan kebaikan yang ada pada dirimu.”
Maka dari itu, suatu keniscayaan bagi seorang murid untuk patuh pada guru. Banyak orangtua merasa kurang mampu untuk mendidik anaknya, sehingga dititipkanlah si anak di sebuah lembaga pendidikan, baik itu pondok pesantren atau madrasah formal. Lalu, adakah alasan untuk tidak patuh guru yang telah mendedikasikan jiwa, raga, dan masanya untuk mendidik muridnya? Apa balas budi seorang murid bagi orang yang telah mengajari A, B, C, dan seterusnyakecuali hanya dengan menghormati guru?
Sungguh, para guru tidak mengharap dari murid-murid pemberian berupa emas, intan, ataupun permata. Sesungguhnya yang diharapkan para guru dari muridnya hanyalah etika yang baik ada pada diri muridnya.
انّ الأستاذ لا يحبّ من تلامذه الّا الصّالح المؤدّب
“Sesungguhnya seorang guru menyayangi murid yang taat (beradab) dan sholih.”
Semisal, ada seorang Kyai memiliki dua orang murid, yang satu pandai dan lainnya patuh. Apabila Kyai tersebut hendak memerlukan sesuatu, siapakah yang pertama kali dipanggil, Si Pandai atau Si Patuh? Sudah barang tentu Si Patuh yang pertama kali dipanggil. Ini karena rata-rata orang pandai terlalu banyak perhitungan dan pemikiran dalam suatu hal. Beda dengan orang patuh. Orang patuh hanya tahu apa yang diperintahkan, bukan yang lain.
Dan sudah bukan rahasia lagi bahwa adab lebih tinggi dari ilmu. Banyak orang pandai tapi keblinger karena tidak memiliki adab. Sedangkan banyak di antara kita orang yang tidak terlalu pandai namun lebih beruntung daripada orang pandai hanya dikarenakan ketaatan dan kepatuhannya. Dalam bab pertama Kitab Washoya disebutkan
اذا لم تزيّن علمك بكرم اخلاقك كان علمك اضرّ عليك من جهلك فانّ الجاهل معذور بجهله ولا عذر للعالم عند النّاس اذا لم يتجمّل بحاسن الشّيم
“Ketika kamu tidak menghiasi kepandaianmu dengan mulianya akhlak, niscaya kepandaianmu akan lebih membahayakan dirimu daripada kebodohanmu. Di hadapan manusia, orang bodoh dimaafkan karena kebodohannya, namun tiada maaf bagi orang pandai yang tidak mau menghiasi dengan pekerti yang baik (kepatuhan).
Selanjutnya, saya paparkan juga bahwa, murid harus faham mengenai keberkahan ilmu. Di sinilah peran utama seorang murid harus pandai mendapatkan keberkahan.Keberkahan ilmu didapat karena karunia Allah yang diberikan kepada murid melalui gurunya. Dan tidak menutup kemungkinan keberkahan ilmu dikaruniakan Allah kepada murid secara langsung.
Keberkahan ilmu didapat murid melalui perantara gurunya karena faktor X yang ada pada gurunya. Faktor X di sini adalah faktor guru yang senantiasa mendoakan muridnya sebagai wujud ikhtiar batin, disamping mengajar sebagai wujud ikhtiar lahir. Karena keistiqomahan guru inilah, Allah mengaruniakan keberkahan ilmu kepada murid berkat gurunya tersebut. Maka tidak heran, apabila kita pernah mendengar suatu kisah seorang murid nakal yang ilmunya berkah di masa tuanya karena berkat kegigihan ikhtiar gurunya tersebut.
Namun bagaimana apabila gurunya hanya guru biasa yang hanya datang untuk mengajar, bahkan adakalanya menjengkelkan (seperti penulis)? Di sinilah kepatuhan murid diuji. Seberapa kuat ikhtiar murid dalam mematuhi guru seperti ini. Secara umum, guru seperti ini sangat jarang mendoakan muridnya secara istiqomah. Guru model seperti ini tetap mendoakan muridnya, namun ala kadarnya. Apabila seorang murid menemui guru macam seperti ini, bukan alasan untuk tidak mematuhinya. Dengan seizin Allah, apabila seorang murid benar-benar tulus patuh terhadap gurunya tanpa memandang sisi buruk gurunya, Allah akan memberikan keberkahan ilmu. Keberkahan ilmu Allah diberikan karena ketulusan murid dalam mematuhi gurunya.